CATCALLING

Catcalling: Bentuk Pelecehan yang Masih Dianggap Sepele

Oleh: Hesti Ainun Azhar 

Catcalling, atau sering disebut juga sebagai pelecehan verbal di ruang publik, adalah tindakan yang kerap terjadi dan masih dianggap remeh oleh sebagian masyarakat. Biasanya, bentuknya berupa siulan, komentar seksual, atau panggilan bernada menggoda kepada seseorang—terutama perempuan—yang sedang berada di tempat umum. Meski sering dibungkus dengan dalih “pujian” atau “candaan”, pada kenyataannya, catcalling adalah bentuk pelecehan yang nyata dan berdampak besar terhadap kenyamanan serta rasa aman korban.

Salah satu hal yang membuat catcalling sulit diberantas adalah anggapan bahwa tindakan ini tidak berbahaya. Banyak pelaku yang merasa tidak melakukan kesalahan karena mereka “hanya bersiul” atau “sekadar mengagumi”. Padahal, efek psikologis dari tindakan ini dapat sangat merugikan korban. Rasa takut, cemas, tidak nyaman, hingga trauma sering dialami oleh korban catcalling, terutama jika hal itu terjadi secara berulang dan dalam situasi yang membuat mereka merasa terancam.

Penting untuk disadari bahwa ruang publik seharusnya menjadi tempat yang aman bagi semua orang, tanpa terkecuali. Ketika seseorang merasa tidak nyaman berjalan di jalanan karena takut diganggu atau dihakimi berdasarkan penampilan fisiknya, maka kita sedang menghadapi masalah besar dalam hal kesetaraan dan rasa hormat di masyarakat.

Masalah ini juga tidak bisa dilepaskan dari budaya patriarki yang masih kental di berbagai lapisan masyarakat. Dalam budaya ini, tubuh perempuan sering kali dianggap sebagai objek yang sah untuk dikomentari, dinilai, bahkan “dimiliki” secara sosial. Inilah yang menjadi akar dari banyak kasus pelecehan, termasuk catcalling. Perempuan seolah-olah harus selalu “siap” menerima perhatian, meski tidak diminta, dari laki-laki yang merasa berhak atas ruang dan tubuh mereka.

Tidak hanya itu, catcalling juga merupakan bentuk kekuasaan. Pelaku, sering kali laki-laki, merasa punya kendali atau dominasi atas korban. Ini bukan sekadar soal ketertarikan fisik, tapi lebih pada bagaimana seseorang merasa bisa menunjukkan kekuasaannya terhadap orang lain. Oleh karena itu, sangat keliru jika menganggap catcalling sebagai bentuk apresiasi. Apresiasi tidak membuat orang merasa tidak aman. Apresiasi tidak datang dengan siulan atau teriakan dari orang asing yang tidak dikenal.

Banyak korban catcalling yang memilih diam karena takut dibalas secara agresif jika membela diri. Di sisi lain, jika mereka merespons, sering kali malah dianggap “lebay” atau “baper”. Lingkaran ini terus berulang karena tidak adanya dukungan sosial yang cukup untuk menyadarkan bahwa catcalling adalah masalah serius.

Media sosial telah menjadi ruang baru bagi orang-orang untuk menyuarakan pengalaman mereka terkait catcalling. Kampanye seperti #StopCatcalling  membuka mata banyak orang bahwa tindakan ini bukanlah hal sepele. Semakin banyak perempuan (dan juga laki-laki) yang berani bersuara, semakin besar pula tekanan terhadap masyarakat dan pemerintah untuk mengambil langkah nyata.

Namun, upaya untuk mengatasi catcalling tidak hanya bisa berhenti di kampanye daring. Harus ada edukasi yang kuat sejak dini, baik di sekolah maupun lingkungan keluarga, tentang pentingnya menghargai orang lain dan batasan personal. Pendidikan seksualitas yang komprehensif, termasuk soal consent (persetujuan), sangat penting untuk dibahas secara terbuka.

Selain itu, aparat hukum juga perlu dilibatkan secara aktif. Di beberapa negara, catcalling sudah dikategorikan sebagai pelanggaran hukum dan bisa dikenai sanksi. Di Indonesia sendiri, meski sudah ada upaya melalui Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), masih banyak masyarakat yang belum menyadari bahwa catcalling bisa masuk dalam kategori pelecehan seksual. Penegakan hukum harus dibarengi dengan sosialisasi yang efektif agar korban merasa didukung dan pelaku mendapat efek jera.

Masyarakat juga punya peran penting dalam menghapus budaya catcalling. Jangan diam jika melihat orang lain mengalami pelecehan di ruang publik. Sikap tidak toleran terhadap pelaku, serta memberikan dukungan pada korban, bisa menjadi langkah sederhana tapi bermakna. Kita semua bisa menciptakan lingkungan yang lebih aman dengan mulai dari hal-hal kecil seperti tidak mewajarkan atau menertawakan candaan yang bersifat seksual terhadap orang asing.

Singkatnya, catcalling adalah bentuk pelecehan yang tidak bisa lagi dianggap normal. Ini bukan soal pujian atau rasa kagum, melainkan soal pelanggaran terhadap ruang pribadi dan rasa aman seseorang. Sudah saatnya kita berhenti mencari pembenaran dan mulai melakukan perubahan nyata. Setiap orang berhak merasa aman di mana pun mereka berada, tanpa takut mendapatkan komentar atau perlakuan yang tidak pantas. Jika kita ingin menciptakan masyarakat yang setara, maka menghentikan catcalling adalah langkah awal yang sangat penting.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CARA MENCAPAI KEBAHAGIAAN INTELEKTUAL

PELECEHAN SEKSUAL