PELECEHAN SEKSUAL
Pelecehan Terhadap Laki-laki: Realita yang Sering Terabaikan
Oleh: Hesti Ainun Azhar
Selama bertahun-tahun, pembahasan mengenai pelecehan seksual dan kekerasan berbasis gender cenderung fokus pada perempuan sebagai korban. Memang benar bahwa perempuan mengalami tingkat pelecehan yang tinggi secara global, namun dalam narasi yang luas ini, satu fakta penting sering kali terabaikan: laki-laki juga bisa menjadi korban pelecehan, dan hal ini terjadi lebih sering daripada yang disadari masyarakat. Sayangnya, karena stigma sosial, stereotip gender, dan kurangnya pemahaman, pelecehan terhadap laki-laki masih menjadi topik yang tabu dan seringkali tidak ditanggapi dengan serius.
Pelecehan terhadap laki-laki bisa terjadi dalam berbagai bentuk seperti verbal, fisik, emosional, hingga seksual. Korbannya bisa berasal dari berbagai latar belakang usia, pekerjaan, dan status sosial. Namun, banyak dari mereka memilih diam karena takut dianggap lemah, tidak jantan, atau bahkan ditertawakan. Inilah salah satu akar utama mengapa kasus pelecehan terhadap laki-laki sering tidak dilaporkan.
Salah satu stereotip yang paling merugikan adalah bahwa laki-laki harus selalu kuat, tangguh, dan mampu membela diri. Budaya patriarki yang masih mengakar kuat di banyak negara, termasuk Indonesia, membuat laki-laki merasa bahwa mengaku menjadi korban adalah tanda kegagalan sebagai pria. Padahal, pelecehan bukan tentang siapa yang lebih kuat secara fisik, melainkan tentang penyalahgunaan kekuasaan, manipulasi, dan pelanggaran batas pribadi seseorang. Ketika laki-laki tidak diberi ruang untuk menunjukkan kerentanan, maka korban-korban pelecehan akan terus terbungkam.
Kasus-kasus pelecehan seksual terhadap laki-laki, terutama di lingkungan kerja atau institusi pendidikan, sering kali tidak terlihat. Laki-laki yang mengalami pelecehan dari atasan perempuan atau dari sesama laki-laki bisa mengalami trauma psikologis yang mendalam. Namun, karena tidak adanya sistem pendukung yang cukup atau ketakutan akan stigma, mereka cenderung memendamnya sendirian. Bahkan dalam hukum, perlindungan terhadap laki-laki sebagai korban masih minim. Dalam beberapa undang-undang, definisi kekerasan seksual kadang secara implisit hanya mengacu pada perempuan sebagai korban.
Media pun turut berperan dalam membentuk persepsi yang keliru tentang pelecehan terhadap laki-laki. Banyak film, acara televisi, dan iklan yang menggambarkan sentuhan fisik atau godaan terhadap laki-laki sebagai sesuatu yang lucu atau tidak serius. Ketika laki-laki diperlakukan tidak senonoh oleh perempuan, seringkali dianggap sebagai pujian atau keberuntungan. Pandangan ini bukan hanya salah, tetapi juga berbahaya karena mengabaikan hak laki-laki atas integritas tubuh dan kenyamanan pribadi mereka.
Satu aspek penting yang perlu diangkat dalam diskusi ini adalah pelecehan terhadap anak laki-laki. Banyak korban kekerasan seksual di usia dini adalah anak laki-laki yang kemudian tumbuh dewasa dengan trauma, kecemasan, dan gangguan kepercayaan diri. Tanpa bantuan psikologis dan dukungan sosial, mereka bisa mengalami kesulitan membangun hubungan sehat dan menghadapi kehidupan dewasa. Yang lebih menyedihkan, kasus-kasus seperti ini sering dibungkam karena keluarga takut akan aib, atau tidak percaya anak laki-laki bisa menjadi korban.
Dalam menghadapi masalah ini, dibutuhkan perubahan paradigma sosial yang mendasar. Pertama, masyarakat perlu menerima bahwa laki-laki juga bisa menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual. Kesadaran ini harus diintegrasikan dalam pendidikan, media, dan hukum. Sekolah dan institusi pendidikan tinggi harus menyediakan ruang aman dan saluran pelaporan yang netral gender. Di sisi lain, media massa perlu lebih sensitif dan bertanggung jawab dalam menggambarkan kasus-kasus pelecehan tanpa memihak atau memperolok korban laki-laki.
Kedua, sistem hukum perlu diperbarui agar mencerminkan perlindungan yang setara bagi semua gender. Definisi kekerasan seksual dan pelecehan harus inklusif, tidak hanya fokus pada perempuan. Laki-laki yang mengalami pelecehan harus bisa melaporkan dengan aman dan mendapatkan dukungan psikologis maupun hukum yang layak.
Ketiga, penting bagi masyarakat untuk membangun budaya empati dan saling mendengarkan. Saat seorang laki-laki berani mengaku telah dilecehkan, respons pertama seharusnya bukanlah mempertanyakan maskulinitasnya, tetapi mendengarkan, memahami, dan membantunya mencari bantuan. Kita tidak boleh menganggap enteng pengalaman seseorang hanya karena ia tidak sesuai dengan stereotip korban yang biasa kita bayangkan.
Pada akhirnya, pelecehan seksual adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia, tanpa memandang jenis kelamin. Semua korban, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki hak untuk merasa aman, didengar, dan dipulihkan. Ketika kita mulai membuka mata dan hati terhadap kenyataan bahwa laki-laki juga bisa menjadi korban, maka kita sedang bergerak menuju masyarakat yang lebih adil dan beradab.
Komentar
Posting Komentar