HARI BURUH
Hari Buruh dan Perempuan: Menggugat Ketimpangan, Merayakan Perjuangan
Oleh: Hesti Ainun Azhar
Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh Internasional—sebuah momen penting untuk mengenang perjuangan kelas pekerja dalam menuntut hak-haknya. Namun, dalam peringatan ini, sering kali kita lupa akan satu kelompok yang memainkan peran krusial di dunia kerja namun masih mengalami diskriminasi berlapis: perempuan.
Perempuan telah lama menjadi bagian dari dunia kerja, baik di sektor formal maupun informal. Mereka bekerja sebagai buruh pabrik, tenaga kebersihan, guru, perawat, pekerja rumah tangga, petani, pedagang kaki lima, hingga profesional di kantor-kantor elit. Namun, kontribusi besar perempuan tidak selalu dibarengi dengan penghargaan yang layak. Ketimpangan upah, kekerasan berbasis gender, diskriminasi kesempatan kerja, serta beban ganda di rumah adalah realitas yang masih dihadapi jutaan perempuan pekerja di Indonesia maupun dunia.
Upah yang Tidak Setara
Isu paling nyata yang terus menjadi sorotan adalah ketimpangan upah antara laki-laki dan perempuan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan berbagai lembaga internasional menunjukkan bahwa secara umum, perempuan di Indonesia masih menerima upah lebih rendah dibanding laki-laki meskipun memiliki tingkat pendidikan dan tanggung jawab kerja yang setara. Perempuan sering kali dijebak dalam pekerjaan berupah rendah yang dianggap sebagai “perpanjangan” dari peran domestik mereka, seperti pekerjaan merawat, membersihkan, dan mengurus.
Fenomena ini menunjukkan bahwa ketimpangan bukan sekadar soal ekonomi, tetapi juga soal budaya patriarki yang telah lama mengakar. Dunia kerja masih melihat perempuan sebagai pekerja sekunder, sebagai pendukung ekonomi rumah tangga, bukan penopang utama. Padahal dalam kenyataannya, banyak perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga.
Beban Ganda dan Peran Domestik
Di tengah tekanan kerja, perempuan juga dihadapkan pada beban ganda. Mereka dituntut untuk tetap menjalankan peran domestik sebagai istri, ibu, dan pengurus rumah tangga. Sistem sosial kita belum cukup mendukung pembagian peran rumah tangga yang adil antara laki-laki dan perempuan. Banyak perempuan pekerja harus bangun sebelum matahari terbit untuk menyiapkan kebutuhan keluarga sebelum berangkat kerja, dan kembali menjalankan tanggung jawab rumah setelah pulang.
Negara dan perusahaan belum cukup memberikan perlindungan dan fasilitas yang mendukung perempuan menghadapi beban ini. Minimnya akses terhadap penitipan anak yang terjangkau, kurangnya cuti melahirkan yang fleksibel, serta jam kerja yang tidak ramah keluarga menjadi bukti bahwa sistem kerja masih bias gender.
Kekerasan di Tempat Kerja
Kekerasan seksual dan pelecehan terhadap perempuan di tempat kerja juga merupakan isu mendesak yang sering kali luput dari sorotan publik. Banyak perempuan enggan atau takut melapor karena sistem hukum yang lemah, stigma sosial, atau karena khawatir kehilangan pekerjaan. Hal ini menciptakan budaya diam dan ketakutan yang terus melanggengkan kekerasan terhadap perempuan di dunia kerja.
Meski Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah disahkan, implementasinya masih jauh dari sempurna. Perlu ada komitmen kuat dari negara, perusahaan, dan serikat buruh untuk menciptakan tempat kerja yang aman dan ramah perempuan.
Peran Gerakan Perempuan dan Serikat Buruh
Di tengah tantangan yang kompleks, perempuan tidak tinggal diam. Sejarah mencatat bahwa perempuan selalu berada di garis depan perjuangan buruh. Di Indonesia, sejak masa kolonial hingga reformasi, perempuan telah menunjukkan bahwa mereka mampu memimpin dan memperjuangkan hak-hak pekerja. Gerakan perempuan seperti Marsinah menjadi simbol keberanian dan perlawanan terhadap sistem yang menindas.
Namun, gerakan buruh sendiri belum sepenuhnya inklusif terhadap isu-isu perempuan. Banyak serikat buruh yang masih dikuasai oleh laki-laki dan menempatkan isu gender sebagai hal sekunder. Padahal, perjuangan buruh dan perjuangan perempuan tidak bisa dipisahkan. Keduanya harus berjalan beriringan jika kita ingin menciptakan sistem kerja yang adil dan setara.
Menatap Masa Depan: Mendorong Kebijakan Berkeadilan Gender
Peringatan Hari Buruh harus menjadi momentum untuk mendorong perubahan sistemik yang berpihak pada perempuan. Negara harus hadir dengan kebijakan yang responsif gender: perlindungan terhadap pekerja perempuan di sektor informal, penguatan sistem pengawasan terhadap diskriminasi dan kekerasan di tempat kerja, serta penyediaan fasilitas yang mendukung keseimbangan kerja dan keluarga.
Perusahaan juga harus mengambil tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan kerja yang setara dan inklusif. Ini termasuk transparansi upah, kebijakan anti-diskriminasi, serta program pelatihan dan promosi yang adil bagi perempuan.
Yang tak kalah penting, masyarakat luas harus mulai mengubah cara pandang terhadap perempuan pekerja. Menghapus stigma, membagi peran rumah tangga secara setara, dan memberikan ruang bagi perempuan untuk berkembang di ruang publik.
Kesimpulannya, hari buruh bukan hanya tentang upah layak dan jam kerja manusiawi, tetapi juga tentang keadilan dan martabat. Dan keadilan sejati tidak akan tercapai tanpa mengangkat suara perempuan, tanpa menghapus diskriminasi yang mereka alami, tanpa merayakan peran dan perjuangan mereka.
Saat kita memperingati Hari Buruh, mari kita ingat bahwa buruh bukan hanya laki-laki yang mengangkat beban berat di pabrik atau berdiri di depan mesin. Buruh juga adalah perempuan yang bekerja di balik layar, mengasuh anak sambil bekerja dari rumah, membersihkan kantor di malam hari, atau berdiri berjam-jam di toko ritel. Mereka layak mendapat hak yang sama, penghargaan yang setara, dan dunia kerja yang lebih adil.
Komentar
Posting Komentar